Minggu, 27 Maret 2016

Persoalan Manusia dan Analisis Budaya




Judul Kasus : Penggusuran Permukiman Liar di Bukit Duri, Jakarta

Penggusuran di DKI Jakarta akan terus dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok. Berikutnya, sejumlah hunian ilegal yang berada di Bukit Duri, Jatinegara, Jakarta timur menjadi sasaran.

Menurut Ahok, penggusuran Kampung Pulo menjadi contoh bagi warga Bukit Duri untuk mengambil manfaatnya sehingga dalam penggusuran nanti tidak lagi melakukan perlawanan saat direlokasi.

“Saya harap warga Bukit Duri bisa mengambil manfaat dari penggusuran kampung Pulo ini,” harapnya.

Proses pengalihan tanah tersebut nantinya, kata Ahok, sama dengan warga Kampung Pulo. Pihaknya akan menawarkan ganti rugi sebesar setengah dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) kepada warga yang memiliki sertifikat tanah.

“Kita memberikan subsidi sebesar 80 persen untuk biaya sewa yang harus dibayar warga. Mereka boleh menghuni unit rusunawa yang disewakan seterusnya dengan syarat tidak menjual atau menyewakannya kembali,” pungkasnya.

Dengan demikian, kata Ahok, bila seluruh hunian ilegal telah dihilangkan, pihaknya akan memasangi sheet pile atau dinding turap di sepanjang bantaran kali. Sheet pile berfungsi menjadi semacam penguat dinding bantaran dan mencegah air meluap. Hal tersebut otomatis akan mencegah banjir kembali menggenangi wilayah Kecamatan Jatinegara yang dilintasi aliran Sungai Ciliwung.

Lalu... Apa penyebab penggusuran di perkotaan?

Penggusuran di wilayah perkotaan umumnya disebabkan keterbatasan dan mahalnya lahan. Upaya ini menyebabkan tersingkirnya kawasan pemukiman warga yang biasanya tidak pada tempatnya, misalnya perkampungan kumuh. Fenomena penggusuran berkaitan erat dengan keterbatasan ruang di kota untuk menyediakan tempat bagi permukiman dan tempat usaha.
 Faktor pendorong terjadinya fenomena ini antara lain:
1.      Adanya ledakan penduduk ibukota. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan, setiap tahun Kota Jakarta diserbu sekitar 250 ribu pendatang baru dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebagian besar pendatang tersebut tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang memadai, sehingga hanya mampu menjadi pekerja kasar dengan tingkat penghasilan yang rendah. Kondisi ini menyebabkan banyak diantaranya bertempat tinggal di permukiman liar.
2.      Terdapat banyak lahan tidur yang tidak jelas status dan peruntukkannya di Jakarta. Ketidakjelasan status ini selanjutnya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu yang dapat mengatur penguasaan lahan. Hal ini lambat laun mengakibatnya terjadi penguasaan lahan secara ilegal yang memicu terjadinya penggusuran.
3.      Kemampuan pemerintah yang rendah dalam menyediakan rumah murah dan tempat usaha yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Terbatasnya akses masyarakat terhadap perumahan dan tempat usaha yang layak tersebutlah yang menyebabkan mereka terpaksa menempati wilayah pinggiran sungai atau lahan kosong secara ilegal.

Penggusuran menghadapkan masyarakat pada dua posisi berlawanan, pro dan kontra. Bagi kalangan yang kontra, penggusuran menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, rusaknya kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah, serta melenyapkan aset hunian. Bagi sebagian pihak, penggusuran merupakan pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki penghidupan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan, bahkan dianggap sebagai kejahatan terhadap hak asasi manusia.Namun sebaliknya, kalangan yang pro meyakini bahwa penggusuran harus dilakukan karena hasil dari penggusuran tersebut adalah terciptanya suasana kota yang nyaman dan layak huni. Penggusuran diyakini sebagai bentuk lain pelayanan kepada masyarakat kota dan penegakan
aturan hukum dengan tujuan mengembalikan hak-hak warga kota yang selama ini terampas
ruang publiknya.

Apa saja dampak permukiman liar di Jakarta?

Pemukiman liar kerap kali dipandang sebagai sarang dari berbagai perilaku
sosial menyimpang seperti kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan sumber penyakit sosial lainnya. Berbagai perilaku menyimpang sering dijumpai di sini yang tentunya bertentangan dengan norma
sosial yang berlaku. Wujud perilakumenyimpang di permukiman liar ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan, antara lain membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat, tidak memiliki KTP, atau menghindari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti gotong royong dan kegiatan sosial lainnya.
Bagi kalangan remaja dan pengangguran biasanya penyimpangan perilakunya berupa mabuk-mabukan, menggunakan obat
terlarang, pelacuran, adu ayam, dan perbuatan mengganggu ketertiban umum lainnya. Akibatnya, hal ini mengarah kepada tindakan kejahatan
seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan, penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, tawuran, melakukan pungutan liar, mencopet, dan tindakan kekerasan lainnya.
Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman liar tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang semestinya disingkirkan.

Bagaimana menyelesaikan masalah penggusuran permukiman liar?

Memperhatikan fenomena penggusuran permukiman liar di Jakarta maka diperlukan analisa kebijakan yang menyeluruh sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Sudah saatnya Pemprov DKI Jakarta menyadari bahwa meningkatnya jumlah penduduk miskin di kota-kota besar merupakan indikator meningkatnya ketimpangan sosial dan ketidakberesan manajemen kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya preventif sehingga fenomena munculnya permukiman liardapat dicegah, diantaranya memperketat masuknya pendatang ke ibukota, meningkatkan akses penduduk terhadap pekerjaan sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mendapatkan pemukiman yang layak. Selain itu, Pemprov DKI perlu menunjukkan konsistensi pengaturan lahan, agar tidak ada pembiaran lahan-lahan kosong yang rawan disalahgunakan sebagai permukiman liar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar